Selayang Pandang Mengenai Waria Di Indonesia
Oleh:
Evi Shofia (185120300111027)
Ana Rufaida (185120300111028)
Kata gender ada untuk menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang merupakan bawaan sejak
lahir. Pembedaan yang berasal dari hasil konstruksi sosial masyarakat ini
bertujuan agar tidak terjadi pencampuran sifat, peran, hak, dan kewajiban
antara dua gender yang ada. Karena hal tersebut berasal dari masyarakat,
sebagian orang mengatakan bahwa gender bukanlah sifat kodrati seseorang, oleh
karena itu kita dapat mengubahnya sesuai dengan kecendrungan hati kita. Namun,
sebagian lainnya
juga mempertahankan pendapatnya bahwa seseorang sudah memiliki peran dan
fungsinya masing-masing sesuai gender yang sudah ditentukan, mereka yang
mempercayai hal ini dengan kuat ialah mereka yang masih berpegang teguh pada
kebudayaan, adat istiadat, dan percaya pada apa yang telah dikatakan Tuhan,
bahwa setiap kita, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan tidak bisa
dicampur adukkan.
Dewasa ini semakin marak bahasan mengenai lesbian, gay, biseksual, dan
transgender atau biasa disingkat menjadi LGBT. Mengacu pada tulisan di paragraf
sebelumnya fenomena transgender juga marak terjadi. Selain transgender, orang awam biasa mengenalnya dengan kata waria atau
banci. Transgender, waria atau banci adalah istilah yang digunakan bagi mereka
yang berperilaku 180° dari perilaku mereka yang seharusnya. Dalam istilah
sosiologi kata transgender memiliki arti orang yang melakukan, merasa, berfikir atau
terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan sejak lahir. Yang mendorong
seseorang melakukan transgender adalah karena ia merasa tidak nyaman dengan
gender-kelahiran mereka, ada pengaruh hormonal yang membentuk karakteristik
kelamin manusia juga yang mempengaruhi terjadinya hal ini, dan ini membuktikan
bahwa fenomena ini bukan merupakan penyakit mental. Selain itu bisa jadi
pengalaman lah yang membentuk karakter mereka berubah. Bisa jadi ketika kecil
sesorang anak laki-laki melihat Ayahnya memiliki perangai yang kasar, acuh
terhadap keluarga, tidak betanggung jawab, dan sebagainya yang membuat sang
anak yang memiliki hati yang sangat lembut mengeneralisir bahwa semua lelaki
memiliki sifat dan perilaku yang sama sehingga ia merasa tidak suka bahkan
benci pada laki-laki dan memutuskan untuk menjadi perempuan. Akan tetapi para
transgender ini tidak masuk dalam kategori penyuka sesama jenis, mereka hanya
merasa terjebak pada jenis kelaminnya sekarang.
Mereka yang mengalami hal tersebut sering dianggap sebelah mata dan
dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap melanggar norma yang ada. Sebagian
masyarakat merasa resah dengan adanya transgender ditengah-tengah mereka
sehingga merasa perlu untuk menyingkirkannya. Seperti yang
terjadi pada Pondok Pesantren Waria Al-Fattah di Yogyakarta yang ditutup pada
tahun 2016 lalu karena dianggap meresahkan warga sekitar. Padahal, selama
pondok tersebut berdiri, pihak pemerintah desa tidak pernah menerima laporan
gangguan dari warga. Kegiatan yang dilakukan oleh pondok tersebut pun positif,
seperti diskusi agama, sholat berjamaah, dan belajar membaca iqra’. Para waria
pun dibebaskan untuk menjadi laki-laki maupun perempuan saat mengikuti
kegiatan, karena secara psikologis sebenarnya mereka juga tidak ingin menjadi
‘berbeda’ (baca: gendernya berubah). Setelah ditelusuri, ternyata pelaporan bahwa
pondok ini meresahkan justru bukan penduduk sekitar yang notabene mengamati
jalannya pondok setiap hari, melainkan dari pihak luar yaitu FJI (Front Jihad
Islam).
Dari ringkasan cerita
Pondok Pesantren Al-Fattah tersebut, kita bisa melihat bahwa masyarakat
Indonesia masih minim penerimaan terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan
kebiasaan dan norma, meskipun hal tersebut tidak memberikan efek negatif
terhadap kehidupan masyarakat. Lagi, masyarakat Indonesia juga masih mudah
digoyahkan dengan pihak luar yang jelas-jelas belum mengetahui kondisi yang
sebenarnya terjadi. Seperti kasus diatas, penduduk tidak pernah menerima
gangguan, merasa tidak ada masalah karena sejatinya pondok tersebut melakukan
hal yang baik. Namun, karena adanya protes dari FJI yang hanya mengamati pondok
pesantren dari jauh, penduduk kemudian goyah dan akhirnya setuju bahwa pondok
meresahkan. Satu hal yang muncul dibenak kami ketika mendengar berita ini “Anda
siapa? Sampai berani menilai tanpa mengamati dengan baik dan mencari tahu fakta
lapangan?” Mau sampai kapan Indonesia menjadi masyarakat yang kaku terhadap
sedikit perbedaan dalam kehidupannya?
Dalam kehidupannya, waria
di Indonesia mengalami banyak kesulitan, terutama dalam penerimaan masyarakat
saat melamar pekerjaan, membuat KTP, bahkan yang paling penting adalah tidak
ada keluarga yang mau menerima mereka. Mungkin disini kita telah melupakan satu
hal sepele, Apakah mereka bukan ciptaan Tuhan?.
Sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila sebagai sistem filsafat,
yang artinya bahwa hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut
dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung)
agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di
dunia maupun di akhirat (Salam, 1988: 23-24), kita tidak boleh menghilangkan
HAM waria karena mereka berbeda. Di dalam pancasila sila kedua yang berbunyi
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” telah jelas dipaparkan bahwa sebagai masyarakat, kita
harus berlaku adil terhadap seluruh rakyat Indonesia. Identitas diri waria
tidak lantas mutlak menyimpulkan bahwa mereka tidak memiliki skill mumpuni
maupun interaksi yang buruk dengan orang lain, bukan?.
Fakta bahwa waria minim
penerimaan otomatis menjadikan mereka takut untuk hidup dengan nyaman dan
mereka pun mengalami kecemasan yang serius. Selama ini, waria juga telah
mengalami banyak kasus kekerasan. Seperti yang terjadi di Bekasi lalu, dua
orang waria mendapatkan kekerasan dari kelompok laki-laki berbaju serba putih.
Mereka memukul dan menelanjangi waria tersebut kurang lebih satu jam. Saat
kekerasan berlangsung, kelompok tersebut juga mengucapkan kata-kata kasar yang
mengatasnamakan Tuhan. Ironisnya, saat mereka melaporkan kepada pihak yang
berwenang, polisi enggan menindaklanjuti kasus ini hanya karena mereka waria.
Jika dari pihak yang memiliki otoritas kuat di Indonesia yang seharusnya
memberikan contoh baik bagi masyarakat saja masih melakukan diskiriminasi pada
perkara yang harus ditegakkan dan diselesaikan, apalagi dengan masyarakat? Terutama bagi yang masih berfikir jika aparat
pemerintah melakukan tindakan tersebut, maka masyarakat juga diizinkan untuk
melakukannya, meskipun kami yakin bahwa tidak semua masyarakat seperti itu.
Dari seluruh paparan
berita dan kasus yang dialami oleh waria di atas, hal ini kemudian menjadi mendesak
untuk diselesaikan. Yang paling utama adalah, para psikolog harus segera
bertindak dengan membantu para waria agar kecemasan dan trauma yang mereka
alami bisa segera membaik. Terlebih
lagi mereka menjadi seperti itu bukan karena keinginan kuat hati mereka, tetapi
memang ada sesuatu dalam diri mereka yang sebenarnya tidak kita
ketahui. Selebihnya, kita sebagai warga Indonesia harus mulai
mengubah mindset kita pada waria, bahwa mereka sama dengan kita,
memiliki hak yang harus diakui dan dilindungi semasa mereka hidup. Dan untuk
aparat pemerintah, alangkah baiknya jika mulai lebih bijak dan berlaku adil
terhadap kelompok minoritas, karena pada dasarnya segala tindakan yang akan
diambil harus sesuai dengan Pancasila. Jangan sampai pancasila hanya dijadikan sebagai bacaan rutin ketika
upacara di Senin pagi, tanpa kita amalkan isinya.
Daftar Pustaka:
Tim Dosen Pancasila. 2017. Pancasila dalam
diskursus sejarah, jalan tengah, dan filosofi bangsa. Malang: Ifada
Publishing (Anggota IKAPI)
Maharani, Shinta. 2016. Sujud perih terakhir di
pondok pesantren waria Al-Fattah. https://nasional.tempo.co/read/752072/sujud-perih-terakhir-di-pondok-pesantren-waria-al-fattah/full&view=ok
(diakses pada 11 Desember 2018 pukul 16:00)
Tanpa nama. 2016. Pesantren waria di Yogyakarta
ditutup, LBH protes. https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160225_indonesia_ponpes_waria_ditutup
(diakses pada 11 Desember 2018 pukul 16:01)
Dean Sri. 2018. Laporan KBR 68H: Kekerasan terhadap
waria. https://www.sbs.com.au/yourlanguage/indonesian/id/audiotrack/laporan-kbr-68h-kekerasan-terhadap-waria?language=id
(diakses pada 13 Desember 2018 pukul 8:04)
Liem, Andrian. Psikologi dan Waria, ada apa?.
Artikel dipresentasikan pada Temu Ilmiah Nasional Psikologi 2012 “Peran
Psikologi dalam Mengelola Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia” di
Universitas Airlangga, 20-21 November 2012.
http://eprints.ums.ac.id/27535/2/3._BAB__I.pdf
(diakses pada tanggal 12 Desember 2018 pukul 15:06)
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia. 2015.
Pandangan Transgender Terhadap Status Gender dan Persamaan Hak Asasi Manusia di
Jakarta, Bogor, Depok, dang Tangerang, 2015. Depok:Pusat Penelitian Kesehatan
UI
Komentar
Posting Komentar